Sebelum menjadi paroki sendiri, umat Katolik di wilayah ini masih tersebar dan masuk dalam wilayah Paroki Baciro, Kotabaru, Mlati, dan Pakem. Sejarah itu mulai berubah ketika pada tahun 1963 dilakukukan peletakan batu pertama untuk membangun gedung Skolastikat MSF (bagian utara dan selatan gereja sekarang), yakni tempat tinggal para frater calon imam MSF yang sedang belajar filsafat dan teologi di Institut Filsafat dan Teologi Kentungan.
Kehadiran Skolastikat melalui peletakan batu pertama yang dilakukan Rama Josef van Beek, MSF, Superior Regional Misionaris Keluarga Kudus (MSF) pada 19 September 1963 ini menjadi berkat tak terhingga bagi pengembangan iman umat sekitar. Meski tujuan utama sebagai rumah studi, tetapi sebagai misionaris mereka tidak menutup mata pada perkembangan iman umat ini atas seijin dan restu dari Bapak Uskup Semarang, Yustinus Kardinal Darmoyuwono kepada tarekat MSF untuk terlibat aktif juga pada umat.
Pada awal Agustus 1966, sekelompok siswa Schola Latina Berthinianum (Seminari Menengah MSF) datang di Banteng. Mereka sebelumnya tinggal di kota Ungaran, Jawa Tengah. Kemudian mereka menghuni sebagian bangunan baru yang sudah dapat ditempati. Rombongan ini dipimpin oleh Rama Van der Valk, MSF. Dan Rama Van der Valk, MSF ini dibantu oleh dua orang bruder, yang salah satunya adalah Bruder Antonius Mitrasubagya, MSF yang lebih dikenal dengan Bruder Anton.
Bersama dengan itu datanglah Bapak J. Prawirohardjono, seorang tokoh Katolik dari Kentungan, menjumpai Rm. Van der Valk, MSF. Seperti lazimnya orang yang belum saling mengenal, mereka saling memperkenalkan diri dulu. Karena mereka merasa disatukan dalam iman yang sama akan Yesus Kristus, mudahlah bagi keduanya untuk saling mempercayai. Dalam waktu singkat terjadilah persahabatan iman yang mendalam. Selanjutnya, Bapak Prawirohardjono menanyakan apakah kiranya pada hari Minggu pada bangunan baru akan diadakan Perayaan Ekaristi. Jika diadakan maka Bapak Prawirohardjono bersedia mengumpulkan umat di sekitar Banteng. Bapak Prawirohardjono dan terlebih umat akan lebih senang lagi apabila untuk selanjutnya setiap hari Minggu diadakan Perayaan Ekaristi sebab di sekitar Banteng umat Katolik cukup banyak. Apalagi mereka harus berjalan jauh kalau akan mengikuti Perayaan Ekaristi, misalnya ke Baciro, ke Pakem, ke Kotabaru atau ke Mlati. Jadi cukup jauh. Rm. Van der Valk, MSF menyanggupi dan menerima dengan tangan terbuka permintaan itu apabila memang menghendaki. Karena Rm. Van der Valk, MSF tahu betul bahwa salah satu sumber kekuatan bagi umat Katolik dan salah satu tanda persaudaraan jemaat Katolik adalah Perjamuan Ekaristi. Akan tetapi ada kesulitan di mana mereka akan melaksanakan Ekaristi, sebab ruang yang sedikit memadai atau cukup luas belum ada yang selesai digarap.
Meski ada kesulitan, Minggu kedua pada bulan Agustus tahun 1966 terkumpul juga kurang lebih lima puluh orang. Perayaan Ekaristi dilaksanakan dengan menempati suatu ruangan yang kini dipakai sebagai ruang cuci, yaitu kamar paling utara. Pada hari-hari Minggu berikutnya, yang semula hanya lima puluh orang itu semakin bertambah jumlahnya. Kamar dan ruangan yang selesai digarap pun semakin bertambah sehingga pelaksanaan Perayaan Ekaristi kemudian dipindah ke ruang yang ukurannya lebih besar. Karena umat yang ikut Perayaan Ekaristi terus bertambah, dan ada ruangan yang lebih besar lagi yang siap digunakan, maka Perayaan Ekaristi berpindah lagi. Ketika aula selesai dibangun maka untuk Perayaan Ekaristi kemudian digunakan ruang aula.
Pimpinan Kongregasi MSF menyadari bahwa gedung gereja sangat dibutuhkan umat. Maka gedung gereja yang belum lengkap telah dipakai untuk mengadakan Perayaan Ekaristi. Setelah terjadi kesepakatan antara Bapak Uskup Keuskupan Agung Semarang yaitu Rama Yustinus Kardinal Darmoyuwono, dan pemimpin Kongregasi MSF maka diputuskan bahwa di antara bangunan gedung Skolastikat MSF itu didirikan sebuah gereja untuk umat yang terpencil dan jauh dari parokinya. Dengan adanya gedung gereja itu dimaksudkan agar umat di sekitarnya bisa mengikuti Perayaan Ekaristi pada hari Minggu maupun hari-hari raya. Bahkan jika mungkin, umat dapat mengikuti Perayaan Ekaristi setiap hari. Hal ini merupakan salah satu wujud kesediaan Kongregasi MSF kepada Keuskupan Agung Semarang, bahwa di antara bangunan Skolastikat MSF akan berdiri gereja yang bersifat publik, artinya juga untuk umat. Kontrak karya antara Keuskupan Agung Semarang dan Kongregasi MSF yang kemudian diperbarui menyebut hanya tenaga anggota MSF yang diusulkan oleh Superior Religiosus, dapat diangkat oleh Uksup untuk cura animarum (pemeliharaan jiwa-jiwa) di sekitar Banteng.
Pada 1 Januari 1968 gedung gereja yang terletak di antara bangunan Skolastikat MSF itu secara resmi dibuka dan disahkan sebagai tempat ibadah umat Katolik Banteng. Peresmian tersebut dilakukan secara diam-diam, tanpa pengguntingan pita, dan juga tanpa pesta. Rupa-rupanya hal itu memang disengaja, yaitu sesuai dengan kesederhanaan dan sikap prasojo yang dimiliki oleh Keluarga Kudus di Nazareth. Dengan peristiwa peresmian itu umat di sekitar tempat tersebut diperkenankan berkumpul dan mengadakan Perayaan Ekaristi bersama para frater calon imam MSF dan bersama seorang pastor MSF. Pada tahun itu pula terbentuklah pengurus Paroki yang terdiri dari Bapak Floribertus Pirmo Darmojo dari wilayah Ngentak, Bapak Tarsisius Ciptawardojo dari Gadingan, Bapak Siswo Supadmo dari wilayah Candi, Bapak Wiryono dari wilayah Kentungan, Bapak FX. Suparno dari wilayah Klaseman, Bapak A. Wignyo Sumarto dan Bapak A. Mulyono, keduanya dari wilayah Sengkan.